Aku, Dia dan Kisah Cintaku

Harusnya ku tak pernah mencintamu

Walaupun semuanya indah

Kau yang tak mungkin kumiliki

Seperti pelangiku, hanya bisa menatapmu…

 

Lirik lagu dari grup band Dygta mengalun indah dalam heningnya kamar Aluna. Mengisi kesunyian yang sengaja diciptakan olehnya untuk merenungkan hal yang terjadi tadi siang.Mengingat kejadian itu membuat tetesan bening kembali meluncur dikedua pipi Aluna. Segala pengorbanan juga harapannya musnah sudah saat ia melihat Rangga, sahabatnya sejak kecil merangkul mesra teman yang dekat dengannya, Windy.

Tak disangkanya, seringnya bepergian juga berkumpul bersama menciptakan ikatan yang tak terlihat antara Rangga juga Windy.Benang yang tersambung erat namun kasatmata.Membayangkan hari-hari sebelumnya membuat hati Aluna semakin perih.Hingga telepon dari Marco yang terus berdering diacuhkannya walaupun berkali-kali berdering nyaring.

Ketukan pintu dari luar kamarnya pun diacuhkannya walau suara lembut mamanya yang terus memanggil namanya tanpa henti. Aluna butuh tempat cerita, akan tetapi ia tak sanggup menceritakannya. Aluna ingin bercerita, tapi tak tahu harus memulai darimana. Salahnya sendiri yang menyimpan diam-diam perasaannya tanpa tahu keterlambatannya itu akan menyakitinya. Salahnya sendiri yang tidak menyadari bahwa medan sebenarnya telah berubah. Bukan lagi mereka bertiga, tapi hanya berdua.Rangga dan Windy.

“Sayang… buka pintunya, nak…”

Suara lembut mama terdengar kembali masih disertai ketukan pintu yang halus.Mau tak mau Aluna bangkit dari duduknya di tempat tidur dan melangkah menuju pintu untuk dibukakannya.Mama nampak tersenyum saat pintu perlahan terbuka lebar.

“Ada masalah?” tanya mama sambil duduk ditepi tempat tidur Aluna sementara Aluna berbaring menatap arah lain. Mama mengelus rambut anak semata wayangnya itu dengan lembut. Ingin memberikan kesadaran untuk putrinya kalau ia tidak sendirian. Akhirnya Aluna berbalik menatap mamanya dan dapat dilihat bekas airmata dikedua pipinya.Kini lagu di radio sudah berganti, memperdengarkan suara merdu Mariah Carrey yang menyanyikan lagu Bye Bye dengan lembutnya.Dalam hati Aluna memaki penyiar radio yang memutarkan lagu-lagu sedih disaat seperti ini.

“Kamu cerita dong kalau ada masalah,” ucap mama lembut masih sambil mengelus rambut anaknya itu.

“Aku nggak tahu mau mulai darimana, ma…”

“Perlahan-lahan… ceritakan saja apa yang mengganjal dihatimu.”

Aluna menatap wajah mamanya bimbang.Antara menceritakan atau bungkam. Jika diceritakan ia pasti akan merasa sakit lagi. Jika tidak, mamanya pasti tak akan membiarkannya. Aluna memperbaiki posisinya agar bisa duduk, perlahan mulutnya terbuka.

Segalanya ia ceritakan. Mulai dari persahabatannya dengan Rangga sejak mereka masih sama-sama suka ngempeng, permainan dan tingkah laku yang selalu mereka lakukan hingga tumbuh benih dihati Aluna.Perasaan yang mulai berubah sejak mereka menginjak bangku SMA.Dimana mereka sudah sama-sama dewasa dan mulai bersikap jaim dihadapan lawan jenis.Namun Aluna hanya melihat Rangga dari sekian ratus laki-laki disekolahnya.Rangga masih bersikap biasa saja sementara Aluna selalu gugup dan salah tingkah jika berhadapan dengan Rangga.Tak ada lagi rangkulan bebas seperti dulu, tak ada lagi cubitan asal yang dilakukan oleh keduanya.Sebenarnya Rangga masih suka melakukannya, namun Aluna selalu menghindari tangan yang mendekatinya itu.

Hingga Windy, teman dekat Aluna selain Rangga hadir dipertengahan semester. Tanpa disadari masuk kedalam kehidupan Aluna dan Rangga, juga mengikat benang yang tak nampak dengan Rangga.

Mama mendengarkan cerita Aluna dengan iba. Ia memandang anak satu-satunya itu dengan lembut sementara Aluna masih melanjutkan ceritanya.Aluna sebenarnya sudah tahu kalau Rangga menyimpan perasaan terhadap Windy jika dilihat dari tatapannya.Mata yang mengekori setiap pergerakan Windy, kaki yang selalu melangkah kemanapun Windy pergi.Aluna selalu menyangkal pikirannya itu. Oleh karena itu ia bungkam dengan perasaannya. Berharap Rangga yang akan menyadarinya tanpa perlu Aluna perjelas.

“Dia bukan untukmu, Luna…” ucap mama pelan.

“Tapi aku sayang sama Rangga, ma…”

“Semua akan terlihat mudah jika kamu mau mengungkapkannya dari awal.Nggak ada salahnya anak perempuan mengungkapkan terlebih dahulu.Lupakan gengsi dan malu-malumu.Itu hanya akan menyakitimu.”

Aluna terdiam, ia tahu semua sudah terlambat. Jika Aluna mengatakannya juga hanya akan mempersulit hubungan persahabatan mereka. Handphone yang tergeletak di tempat tidur Aluna kembali berdering, menampilkan nama Marco kembali dilayar handphonenya itu.

“Diangkat dong…” ucap mama melihat Aluna tak kunjung meraih handphonenya itu.Seakan memahami perasaan anaknya, mama keluar kamar dan menutup pintu itu perlahan.Meninggalkan Aluna yang kini sendiri ditemani suara penyiar radio yang sedang bertegur sapa.Handphone itu kembali berdering sesaat setelah mati, akhirnya Aluna meraihnya dan menekan tombol jawab.

“Halo…”

“Na? Lama amat diangkatnya…” protes Marco begitu telepon tersambung.Aluna memicingkan matanya mendengar ucapan Marco walaupun Marco tak dapat melihatnya.

“Kenapa?” tanya Aluna cuek.

“Gue kesana, ya? Kayaknya lo lagi kacau…”

“Nggak perlu!” jawab Aluna cepat.Ia tak yakin dengan penampilannya sekarang. Sebenarnya ia tak perlu tampil cantik, tapi dilihat dari kondisinya sekarang ia yakin penampilannya buruk.

“Kenapa?Pelit amat sih.”Ucap Marco kecewa.Aluna semakin sebal dengan kakak kelasnya yang selebor dan nyentrik itu. Lama tak ada tanggapan akhirnya Marco memanggil nama Aluna berkali-kali.

“Apaan sih?”

“Gue kan nanya, lo cuekin. Nggak disekolah, eh ditelepon juga dicuekin ternyata.”Ucap Marco dengan nada memelas.

“Rese lo, ya!”

“Gue udah didepan rumah lo, nih. Keluar dong…”

Aluna terkesiap. Langsung saja ia berlari menuju jendela untuk mengintip apakah Marco berbohong atau tidak. Namun sosok tegap itu berada diluar pagar rumahnya sambil bersandar pada motor besarnya.Aluna sibuk berdecak sementara Marco menyeringai geli sambil melambaikan tangannya.

Tak lama terdengar ketukan pintu dari kamarnya disertai suara sang mama yang mengatakan ada Marco diluar.Aluna mengambil sweaternya yang tergantung dibelakang pintu, mengenakannya sambil berjalan melangkah keluar.Di teras rumahnya, terlihat Marco sedang duduk menanti kedatangannya.

Aluna dapat melihat senyum yang lain diwajah itu. Bukan senyum jahil seperti yang biasanya diperlihatkan Marco.Aluna sempat terpana melihat senyum yang hanya beberapa detik itu.Ia mengambil tempat duduk disebelah Marco. Sesaat hening mengisi keduanya.

“Ternyata lo emang kacau banget ya,,,” suara Marco keluar begitu saja membuat Aluna yang tadi melamun menjadi agak tersentak.

“Nggak seperti yang lo pikir kok.”Jawab Aluna tanpa sekalipun memandang Marco.

“Lupainlah tuh cowok, kan ada gue sekarang.”

Aluna mendengar ucapan Marco namun tak tahu harus bereaksi seperti apa. Tanpa disadari tangan Marco meraih tangan Aluna yang sedari tadi berpaut.

“Gue nggak mau jadi pengecut yang nggak berani jujur sama perasaan…”

“Jadi lo nyindir gue?” potong Aluna sambil memandang keki kakak kelasnya itu.Sementara Marco hanya tersenyum mendengarnya.

“Nggak nyindir juga, tapi… emang bener sih.”Sahut Marco sambil terkikik geli.Ia memandang Aluna yang kini menatapnya jengkel.

“Lo sadar nggak udah berapa lama gue nunggu lo?Ngebuntutin lo kemana aja sampai lo merhatiin gue? Ngeliat mata lo yang selalu natap tuh cowok sampai akhirnya gue ngeliat lo nangis tadi siang…” tanya Marco dengan nada serius juga wajah yang serius. Karena tak mendapat jawaban dari Aluna, Marco melanjutkan kalimatnya.

“Mulai sekarang tatap gue yah, Na?” pinta Marco.

Aluna tak menyangka walaupun ia sendiri tahu maksud kedekatan Marco padanya pasti ada sesuatu. Hampir setiap hari sejak pertemuan mereka setahun yang lalu, Marco selalu memintanya menjadi pacarnya, mengucapkannya secara terang-terangan didepan umum tanpa memikirkan tanggapan orang lain. Membuat Aluna malu dan malas keluar kelas karena pasti akan bertemu Marco. Rangga dan Windy yang tahu tentang itu malah meledeknya terus-terusan.

“Ih, gue mah dicuekin mulu…”

Aluna tersadar dari lamunannya lagi. Ditatapnya wajah Marco cukup lama, mata Marco meneduhkan seakan menariknya untuk masuk kedalam sana. Entah kenapa ia merasa menemukan jawaban dari tatapan itu. Mengapa ia tidak mencoba melupakan perasaannya terhadap Rangga? Sementara Rangga kini sudah bersama Windy.

Masih sambil menatap Marco, Aluna mengembangkan senyumnya dan melepaskan genggaman tangan Marco yang sejak tadi tidak dilepaskannya. Mendadak ia merasa salah tingkah.

“Mau yah jadi pacar gue?”

Aluna berusaha meyakinkan hatinya.Berusaha mengeluarkan suara juga berusaha bereaksi.Namun hanya anggukan kepala yang pelan yang terlihat dari reaksinya. Marco tak menyangka saat ini akan tiba. Ia mengguncang-guncangkan bahu Aluna pelan, “Seriusan??”

“Ih, sakit tahu! Nggak jadi nih!” ancam Aluna sambil tersenyum.

“Ets!!Jangan dong…” raut wajah Marco berubah lesu namun tahu Aluna hanya bercanda.

“Makasih ya, honey…”

“Jangan norak!” sahut Aluna keki.

Marco hanya tertawa geli mendengarnya.Ia meraih telapak tangan Aluna dan mengecupnya pelan. Membuat Aluna salah tingkah dan membeku perlahan.Iaharus yakin, Marco akan mengisi hari-harinya menjadi lebih berwarna dan membuatnya melupakan perasaannya terhadap Rangga. Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan kembali seperti semula kecuali ia dan Marco yang baru akan memulai segalanya.

 

written : 17 November 2012

done read? please give me some comment 😉

arigatoooooo :))